Macam-Macam Ikhtilaf
MACAM-MACAM IKHTILAF
Oleh
Syaikh Salim bin Shalih Al-Marfadi
Para ulama telah meneliti dalil-dalil tentang ikhtilaf, sehingga nampak jelas bahwa ikhtilaf itu ada dua macam, masing-masing terdiri dari beberapa jenis.
IKHTILAF TERCELA
Jenis-jenisnya adalah sebagai berikut :
1. Ikhtilaf yang kedua belah pihak dicela.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ikhtilafnya orang-orang Nashara.
فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَة
“Maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat” [Al-Maidah/5:14]
Firman Allah dalam menerangkan ikhtilaf nya orang-orang Yahudi
وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ۚ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian diantara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya” [Al-Maidah/5 : 64]
Demikian juga ikhtilaf nya ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) dan ahlul bid’ah dalam hal-hal yang mereka perselisihkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka” [Al-An’am/6:159]
Juga termasuk kedalam ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf antara dua kelompok kaum muslim dalam masalah ikhtilaf tanawwu’ (fariatif) dan masing-masing mengingkari kebenaran yang dimiliki oleh kelompok lain.
2. Ikhtilaf yang salah satu pihak dicela dan satu lagi dipuji (karena benar).
Ini disebut dengan ikhtilaf tadhadh (kontradiktif) yaitu salah satu dari dua pendapat adalah haq dan yang satu lagi adalah bathil. Allah telah berfirman.
وَلَٰكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا
“Akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan” [Al-Baqarah/2:253]
Ini (ayat di atas) adalah pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan kekufuran. Adapun pembeda antara al-haq (kebenaran) dengan bid’ah adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits iftiraq : “Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 firqah (kelompok), kaum Nashara menjadi 72 firqah, dan ummat ini akan terpecah menjadi 73 firqah, semuanya (masuk) didalam neraka kecuali satu. Ditanyakan : “Siapakah dia wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “orang yang berada diatas jalan seperti jalan saya saat ini beserta para sahabatku” dalam sebagian riwayat : “dia adalah jama’ah” [Lihat “Silsilah Ash-Shahihah 204 Susunan Syaikh Nashiruddin Al-Albani]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa semua firqah ini akan binasa, kecuali yang berada diatas manhaj salaf ash-shaleh. Imam Syathibi berkata : “Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (إِلاَّ وَاحِدَةً) telah menjelaskan dengan sendirinya bahwa kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Seandainya kebenaran itu bermacam-macam, Rasul tidak akan mengucapkan ; (إِلاَّ وَاحِدَةً) dan juga dikarenakan bahwa ikhtilaf itu di-nafi (ditiadakan) dari syari’ah secara mutlak, karena syari’ah itu adalah hakim antara dua orang yang berikhtilaf. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)”. [An-Nisaa/4:59]
Jenis ikhtilaf inilah yang dicela oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
IKHTILAF YANG BOLEH
Ini juga ada dua macam yaitu :
1. Ikhtilafnya dua orang mujtahid dalam perkara yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya.
Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [Al-Hajj/22:78]
Diantara rahmat ini adalah tidak memberikan beban dosa kepada seorang mujtahid yang salah bahkan ia mendapatkan pahala karena kesungguhannya dalam mencari hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu salah padanya” [Al-Ahzab/33 : 5]
Dari Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
“Apabila ada seorang hakim mengadili maka ia berijtihad, lalu ia benar (dalam ijtihadnya) maka ia mendapatkan dua pahala, apabila ia mengadili maka ia berijtihad, lalu ia salah maka ia mendapatkan satu pahala” [Hadits Riwayat Imam Bukhari]
Sebagai penjelas terhadap apa yang telah lewat, saya katakan :”Banyak para ulama yang membagi masalah-masalah agama ini menjadi Ushul Kulliyah (pokok-pokok yang mendasar serta bersifat meliputi) dan Furu’ Juz’iyah (cabang-cabang yang bersifat parsial), masalah-masalah. Ushul (pokok) dan masalah-masalah ijtihad 1 baik dalam masalah ilmiyah ataupun amaliyah. Pendapat inilah yang ditempuh oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan Imam Syathibi Rahimahullah. Syaikhul Islam berkata : “Akan tetapi yang benar, bahwa masalah yang besar (pokok) dari dua katagori itu adalah masalah ushul, sedangkan rinciannya adalah masalah furu”.
Di dalam fatwa Lajnah Daimah terdapat pernyataan mereka (para ulama) bahwa : “Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki Ushul yang kokoh berdasarkan dalil-dalilnya, yang di atas Ushul tersebut mereka membangun furu’. Mereka berpedoman kepada masalah-masalah Ushul dalam mencari dalil terhadap masalah-masalah Juz’iyah dan dalam menerapkan hukum bagi diri mereka sendiri dan bagi orang lain”.
Dari sini tampak jelas bagi kita bahwa permasalahan-permasalahan yang diperbolehkan berijtihad di dalamnya adalah masalah yang bersifat rinci (detail) dari masalah ilmiyah ataupun masalah amaliyah. Adapun masalah ushul (pokok) maka tidak boleh berijtihad didalamnya.
Diantara contoh permasalahan yang besar (pokok) dalam kaitannya dengan khabariyah (masalah iman dan khabar wahyu) adalah : mengesakan Allah dengan segala hak-Nya, adanya para malaikat, jin, hari kebangkitan kembali, azab kubur, shirath (jembatan yang membentang di atas Jahanam untuk di lalui manusia di hari kiamat setelah hisab), dan persoalan-persoalan nyata lainnya yang disebut sebagai USHUL (persoalan ini tidak boleh diperselisihkan -ed). Adapun FURU’ dalam kaitannya dengan masalah khabariyah (masalah iman dan khabar wahyu) ialah setiap rincian (detail dari masalah-masalah ushul di atas -ed). Misalnya : Apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabbnya (ketika Mi’raj), apakah orang mati di kuburnya mendengar pembicaraan orang yang masih hidup, apakah sampai pahala amal orang yang masih hidup (selain do’a) kepada mayit ? dan lain-lainnya.
Syaikhul Islam berkata : “Oleh karenanya para imam sepakat untuk membid’ahkan orang yang (pendapatnya) menyelisihi masalah-masalah ushul seperti ini. Berbeda dengan orang yang (pendapatnya) menyelisihi masalah-masalah ijtihad, yang peringkatnya belum sampai tingkat ushul dalam kemutawatiran sunnah mengenainya, seperti perselisihan mereka berkaitan dengan hukum seorang saksi, sumpah, pembagian (harta warisan), dalam undian, dan perkara-perkara lain yang tidak sampai derajat ushul”.[1]
Sekalipun demikian, persoalannya tidaklah mutlak begitu yaitu dapat berijtihad untuk membid’ahkan siapa saja yang dikehendaki dengan hujjah ijtihad yang diperbolehkan. Oleh karena itu ada beberapa ketentuan untuk ijitihad ini, yaitu :
- Hendaknya dalam masalah yang di ijtihad-kan, tidak ada dalil yang qath’iyuts tsubut (qath’i adanya sebagai dalil) dan qath’iyud-dalalah (qath’i penunjukannya/dalalahnya), sebab tidak boleh berijtihad dalam menentang nash. Saya buatkan satu contoh mengenainya dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Tetapi jika ia tidak menemukan (binanatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna” [Al-Baqarah/2:196].
Ayat ini adalah dalil yang qath’iyus-tsubut (qath’i adanya/tetapnya sebagai dalil) karena ia termasuk Al-Qur’an al-Karim. Dan juga qath’iyud dalalah (qath’i penunjukkannya/dalalahnya) tentang wajibnya puasa sepuluh hari bagi orang yang tidak mendapatkan hewan kurban (denda) padahal ia ber-tamattu’ (mendahulukan umrah daripada haji).
- Hendaknya dalil tentang permasalahan itu mengandung beberapa kemungkinan. Contoh yang bekaitan dengan dalil zhanniyuts-tsubut (dalil yang masih bersifat zhann. dipertanyakan keadaannya sebagai dalil), ialah pendapat sebagian ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa mustahab (sunnah) hukumnya mengerak-gerakkan jari ketika tasyahhud. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tambahan “menggerak-gerakkan (jari)” dalam hadits itu adalah syadz (bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat). Contoh yang berkaitan dengan dalil zhanniyud-dalalah (penunjukkannya sebagai dalil masih bersifat dugaan/dalalahnya tidak qath’i) ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru” [Al-Baqarah/2:228].
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Al-Qar’u adalah suci, sementara yang lain berpendapat bahwa Al-Qar’u adalah haid. Kedua pendapat tersebut mempunyai kemungkinan benar-benar secara bahasa.
- Hendaknya ijtihad yang dilakukan tidak dalam masalah yang telah ijma’ (disepakati) atau tidak dalam masalah yang telah baku sebagai manhaj ilmiyah Ahlu Sunnah.
- Hendaknya hukum atas permasalahan itu bersumber dari seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka tentang ushul fiqh.
- Hendaknya kesimpulan hukum dibangun berdasarkan metode Ahlus Sunnah dalam cara pandang maupun cara mengambil dalil. Di antara metode itu adalah bahwa dalam pendapat yang di ijtihadkannya, memiliki pendahulu dari kalangan ulama umat ini yang telah dipersaksikan keilmuannya dalam masalah dien. Al-Hafidzh Ibnu Rajab dalam kitabnya “Fadhul Ilmi as-Salaf ‘ala al-Khalaf” berkata :”Adapun para imam dan Fuqaha’ Ahul Hadits, maka mereka akan mengikuti hadits shahih sebagaimana adanya apabila hadits itu diamalkan oleh para sahabat, orang-orang yang sesudah mereka atau sekelompok dari mereka, Adapun apa yang telah disepakati oleh mereka untuk ditinggalkan, maka ia tidak boleh diamalkan Umar bin Abdul Aziz berkata : Ambillah pendapat yang sesuai dengan (pendapat) orang-orang sebelum kalian (Salafus Shalih), sesungguhnya mereka lebih tahu dari pada kalian”[2]
Dari keterangan di atas, menjadi jelaslah macam ikhtilaf yang pertama dari ikhtilaf yang diperbolehkan.
2. Ikhtilaf Tanawwu’
Contohnya adalah ikhtilaf sahabat dalam masalah bacaan (Al-Qur’an) pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :”Saya mendengar seseorang membaca ayat yang saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya berbeda dengan orang itu, maka saya pegang tangannya lalu saya bahwa kehadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya laporkan hal itu kepada beliau, namun saya melihat tanda tidak suka pada wajah beliau, dan beliau bersabda.
كِلاَكُمَا مُحْسِنٌ : لاَ تَخْتَلِفُوا ، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا
“Kalian berdua bagus (bacaannya), jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa”.
Ulama yang paling baik menulis masalah ikhtilaf tanawwu ini dan menjelaskannya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yaitu ketika beliau berkata : “Ikhtilaf tanawwu’ ada beberapa macam, diantaranya adalah ikhtilaf yang masing-masing dari kedua perkataan (pendapat) atau perbuatan itu benar sesuai syari’at, seperti bacaan (Al-Qur’an) yang diperselisihkan itu dicegah oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
كِلاَكُمَا مُحْسِنٌ
“Kalian berdua bagus/benar (bacaannya)”
Misalnya lagi adalah ikhtilaf dalam macam-macam sifat adzan, iqamah, do’a iftitah, tasyahhud, shalat khauf, takbir ied, takbir jenazah dan lain-lain yang semuanya disyari’atkan, meskipun dikatakan bahwa sebagiannya lebih afdhal. Kemudian kita dapatkan banyak umat Islam yang terjerumus dalam ikhtilaf hingga menyebabkan terjadinya peperangan (pertengkaran) antar golongan diantara mereka. hanya karena masalah menggenapkan lafazh iqamah atau mengganjilkannya, atau masalah-masalah semisal lainnya. Ini adalah substansi keharaman itu sendiri. Sementara orang yang tidak sampai ketingkat ini (yaitu tingkat peperangan/pertengkaran), banyak diantaranya yang kedapatan fanatik terhadap salah satu cara (adzan, iqamahm dst) tersebut karena mengikuti hawa nafsu, dan berpaling dari cara lain, atau melarang cara lain yang sebenarnya masuk dalam salah satu cara. Hal yang tentu dilarang oleh Nabi.
Diantara ikhtilaf tanawwu’ juga adalah ikhtilaf yang masing-masing dari dua pendapat mempunyai kesamaan makna namun redaksinya berbeda, sebagaiman banyak orang (Ulama) yang kadang berselisih dalam membahasakan ketentuan hukum-hukum had, shighah-shighah (bentuk-bentuk ) dalil, istilah tentang nama-nama sesuatu, pembagian-pembagian hukum dan lain-lain. Selanjutnya kebodohan atau kezhalimanlah yang akhirnya membawa pada sikap memuji terhadap sakah satu dari dua pendapat tadi dan mencela yang lain.
Diantaranya lagi adalah tentang sesuatu yang memiliki dua makna yang berbeda namun tidak saling berlawanan. Yang ini adalah perkataan benar, dan yang itu juga merupakan perkataan benar, sekalipun maknanya saling berbeda. Ini banyak sekali terjadi dalam perselisihan pendapat.
Di antaranya lagi adalah ikhtilaf mengenai dua cara yang sama-sama disyari’atkan. Seseorang atau satu kelompok menempuh jalan ini, sedangkan yang lain menempuh jalan lain. Kedua-duanya baik dalam agama. Tetapi kebodohan atau kezalimanlah yang kemudian menggiring pada sikap mencela terhadap salah satu dari kedua jalan tersebut atau lebih mengutamakannya, tanpa dasar niat yang benar, atau tanpa dasar ilmu, atau tanpa dasar niat yang ikhlas dan tanpa dasar ilmu sekaligus”[3] Jika pertengkaran di antara sebagian kaum muslimin terjadi dalam ikhtilaf macam ini maka jadilah ikhtilaf itu tercela, sebagaimana yang telah jelas pada penjelasan yang telah lewat dan pada hadits Abdullah bin Mas’ud seputar ikhtilaf dalam qira’ah (bacaan Al-Qur’an). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
كِلاَكُمَا مُحْسِنٌ : لاَ تَخْتَلِفُوا ، فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا
“Kalian berdua benar, jangan berselisih ! Sesungguhnya umat sebelum kalian berselisih lalu mereka binasa”
Syaikhul Islam berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ikhtilaf (perselisihan pendapat) yang masing-masing dari kedua belah pihak mengingkari/menolak kebenaran yang ada pada pihak lain, karena kedua orang sahabat yang berbeda bacaannya itu sama-sama benar dalam bacaannya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab (larangan) tersebut yaitu bahwa lantaran umat sebelum kita berselisih, maka kemudian mereka menjadi binasa karenanya.
Oleh sebab itu ketika Hudzaifah melihat penduduk Syam dan Iraq berselisih mengenai bacaan huruf Al-Qur’an dengan perselisihan yang telah dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata kepada Utsman (bin Affan, Amirul Mukminin -ed) : “Perbaikilah umat ini, janganlah mereka berselisih dalam bacaan Al-Qur’an, sebagaimana umat sebelum mereka berselisih”.
Jadi keterangan ini memberikan dua faedah :
- Haramnya berselisih dalam masalah seperti ini.
- Mengambil pelajaran dari umat sebelumnya dan berhat-hati jangan sampai menyerupai mereka.
(Majalah Al-Ashalah tgl. 15 Dzul Hijjah 1416H, edisi 17/Th.III , Penulis Salim bin Shalih Al-Marfadi, Penerjemah Ahmad Nusadi)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Majmu’ Fatawa IV/425
[2] Lihat Tsalatsu Rasa’il, karya Al-Hafizh Ibnu Rajab, hal. 140, Tahqiq Muhammad Al-Ajami
[3] Iqtidha’ Ash-Shiratth Al-Mustaqim, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah I/132-134
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/14432-macam-macam-ikhtilaf-2.html